Mengenal lalu Melepasmu

Kau mungkin bisa memulainya, namun bukan berarti kau juga yang berhak mengakhiri. Dengan sepihak. Dengan tanpa memedulikan perasaan yang lain.
Yang lain, aku, mungkin.
Kau masih ingat saat pertama kali menelponku? Kuingatkan inti dari pembicaraan kita malam itu, kau meminta waktuku untuk menemuimu pagi harinya.
"Bisa ketemu? Penting." Begitu katamu malam itu. Dan tanpa perlu berpikir panjang-panjang aku langsung menyetujui ajakanmu.
"Masjid Kota Baru jam sepuluh pagi. Jangan telat."
Mendadak aku menyesal telah menyahuti ajakanmu. Bahkan belum bertemu saja kau sudah main perintah-perintah. Malam itu aku langsung berkesimpulan bahwa kau adalah seorang yang berkemauan keras lagi berjiwa pemimpin, meski akhirnya aku harus terima kenyataan bahwa kau juga adalah seorang yang abai pada tanggung jawab.
Tiga tahun kita bersama, bukan, lebih tepatnya lima tahun kita kenal. Dua tahun kita habiskan untuk saling tidak peduli dan sisa tahun yang lain kita pergunakan sebaik mungkin untuk saling mengenal lebih dalam bahkan terlibat dalam hal-hal yang harus kita tuntaskan bersama. Bersama, kau dan aku.
"Jika tiba waktu kita untuk pisah," katamu di suatu senja yang langsung membuatku murung. Aku sangat yakin, kalimat itu pasti akan kau ucapkan juga. Setiap pergantian minggu aku selalu cemas, takut-takut kalau kau mengucapkannya mendadak. Aku masih belum siap meski kau sudah mewanti-wantiku jauh hari sebelumnya.
"Apa tidak bisa kita tunda obrolan ini? Aku masih belum siap untuk membayangkan hari setelah kau membahas ini."
"Tidak bisa. Sudah saatnya kita membahasnya. Ini akan jadi pilihan terbaik untuk kita."
Kau berusaha meyakinkanku. Suaramu begitu lembut namun penuh penegasan. Wajahmu berwibawa, sejuk namun sukar untuk didebat. Aku selalu luluh di hadapanmu. Harusnya aku menangis untuk menunjukkan bahwa aku ini wanita yang perlu waktu lebih untuk dimengerti, tapi gerakan tanganmu telah lebih dulu menghentikan air mataku.
"Perempuan boleh menangis tapi bukan untuk pamer kelemahan." kering seketika pipiku oleh usapan telunjukmi.
"Jadi apa yang harus kulalukan?" harusnya aku tambah kata 'tanpamu'.
Kau menarik ujung-ujung bibir dan memamerkan gingsul. Sebelum akhirnya mengeluarkan suara, "kau hanya butuh mandiri. Lima tahun kita bersama. Meski dua tahun pertama kau selalu mengabaikanku. Kurasa kau baru menyadari keberadaanku di awal tiga tahun perkenalan kita. Karena itulah, saar itu aku langsung menghubungimu. Memintamu untuk menemaniku membuka bisnis baru. Tiga tahun sudah rumah bunga kita dirikan. Banyak sudah klien kita. Mereka menyukai rangkaian bunga dari kita. Ini semua karena tangan tangan ajaibmu. Aku sangat ingin selalu menemani, namun hari ini kurasa aku harus pergi sejenak. Beasiswaku dikabulkan. Aku harus segera berangkat ke London. Kuharap kau  masih semangat seperti dulu. Kutitip rumah bunga. Aku pasti akan kembali."
Kau tidak jahat. Kau pamitan sebelum pergi. Dan inilah yang membuatku sedih. Karena diam diam sepertinya aku telah mengkhianati persahabatan kita. Aku jatuh cinta padamu namun aku sadar tidak bisa memilikimu saat ini. Entah untuk esok, minggu depan atau mungkin dua tahun mendatang saat kau pulang dari menuntut ilmu.
Kau masih ingat saat pertama kali menelponku?
"Apa Min?" tanyamu saat sambungan telpon kita mendadak seperti dirusuh sama gangguan sinyal.
Percayalah, itu bukan gangguan sinyal. Melainkan telponku jatuh karena tanganku gemetar setelah tahu kaulah yang menelpon. Saat itu sejujurnya aku sudah mencintaimu.
*
Kau boleh jadi orang yang mengawali perkenalan kita, tapi aku pastikan kau juga orang pertama yang mampu mematahkan hatiku.
"Biarkan saja dia pergi. Kita tunggu dua tahun lagi. Jika dia kembali dengan kekasihnya, berarti dia bukan untukmu. Namun jika dia masih seperti kemarin, ada harapan untukmu. Tidak ada yang bisa kamu perbuat selain menunggu karna mengejar bukan tabiatmu."
Satu hatiku berbisik demikian usai mengantarmu di pintu masuk bandara.

0 Response to "Mengenal lalu Melepasmu"

Posting Komentar

Mini GK author from Gunungkidul, Indonesia

Tiket Promo

Followers