Kau yang Istimewa

terima kasih Bumi Papua
Kalau aku membencimu, maka itu hanya akan menjadi dendam yang tidak berkesudahan. Lagi mempertahankanmu adalah sebuah kesia-siaan belaka. Kau, tidak pernah sekali pun berusaha mempertahankanku. Masih ingatkah engkau saat aku hendak pergi, kau hanya berkata, "jangan tinggalkan aku." Cukup hanya kata itu tanpa kata lain bahkan tanpa pelukan mau pun kecupan. Kau seolah-olah hanya mengharapku dari cara bicaramu bukan dari sepenuh hatimu. Maka jika aku pergi dan kau tidak mengejarku tak pula mencariku, aku sadar sesadar-sadarnya. Inilah saat yang tepat untukku berucap; selamat tinggal kau yang tidak lagi istimewa.
"Kaka, sedang apa to?"
Bocah berkulit gelap itu membawaku ke kekenyataan hari ini. Bocah itu, adalah kawanku selama empat bulan ini. Bersamanya dan keluarganya aku hidup dengan lebih bahagia. Bahkan lebih bahagia dari pada saat bersamamu. Jadi jika esok saat aku kembali dan mendapati ternyata kau benar-benar sudah menjadi milik yang lain, aku tak akan pernah menangis untuk. Dan kupastikan bahwa aku akan datang ke pernikahanmu. Itu kalau aku ada di kota yang sama denganmu, karena rasa-rasanya aku masih betah berada di sini.
"Tidak apa-apa." Kuusap keriwil rambut bocah berkulit gelap itu.
Siang begitu garang. Kami sedang berteduh di satu-satunya pohon besar yang berhasil kami temui. Aku dan bocah itu sedang melakukan perjalanan panjang menuju Walesi.
Pagi tadi kami berangkat berombongan sepuluh orang dari kota Wamena, kini hanya tinggal kami bertiga; aku, bocah berkulit gelap itu dan Mouthi--kakak perempuan bocah berkulit gelap itu yang berumur lebih muda tiga tahun dariku. Rombongan yang lain sudah lebih dulu melanjutkan perjalanan. Aku sengaja menyuruh Mouthi dan adiknya untuk berjalan pelan saja sebab tenagaku hampir-hampir habis. Hatiku bahagia dengan perjalanan ini namun fisikku sedikit lelah. Aku tak ingin sakit atau bahkan mati sebelum melihatmu naik pelaminan.
"Kaka baik-baik saja?" tanya Mouthi saat aku mencoba berdiri namun justru oleng, hampir roboh.
"Tak apa," jawabku sambil tersenyum.
Aku sebenarnya malu pada Mouthi dan adiknya. Mereka adalah keturunan Suku Dani yang penuh semangat. Hidup mereka sudah terlatih siaga dan kuat. Alam Wamena mengajarkan segala yang mereka butuhkan. Aku malu karena tak seujung kuku pun aku bisa menyamai Mouthi.
Mouthi memapahku tanpa menurunkan su dari kepalanya. Perempuan-perempuan di sini terbiasa melengkapi diri dengan su; tas rajut dari kulit kayu yang disampirkan di kepala. Su yang tergantung di kepala para perempuan itulah yang membuat otot leher mereka kuat. Lebih-lebih su yang sedang disandang Mouthi. Dalam su itu ada seekor babi gemuk yang sedang meringkuk tertidur pulas.
Babi dalam su itu adalah babi istimewa. Tidak semua babi diperlakukan istimewa oleh pemiliknya.
Dulu, dibulan pertama aku tinggal di sini, pernah kutanyakan pada Mouthi tentang babi yang pernah ia bawa kemana-mana dalam su-nya.
"Apa itu babi?"
"Wam," jawab Mouthi sambil memperlihatkan giginya yang sedikit gelap namun kuat karena kebiasaan mengunyah pinang. "Bayi babi ini disebut wam."
"Wam," ulangku.
"Ya."
"Apa setiap wam digendong seperti ini?" kutunjuk su yang menggantung dari kepala Mouthi.
"Tidak, kaka. Hanya wam ena saja kami bawa kemana-mana."
"Wam ena?"
"Wam artinya babi, ena artinya istimewa. Wam ena berarti babi istimewa."
Setelah hari itu aku tahu bahwa babi di sini merupakan harta. Hampir sama berharganya dengan berlian, atau mungkin lebih. Konon wam ena ini adalah bayi-bayi babi yang lahir lalu ditinggal mati induknya. Atau berupa hadiah dari kolage. Jadi sudah biasa masyarakat saling memberi hadiah dengan bayi babi. Otomatis bayi babi yang dipisahkan dari induknya itu tidak bisa menyusu maka orang-orang merawatnya dengan seperti merawat anak sendiri. Kemana-mana mereka selalu bawa wam ena dalam su, tidak jarang pula memberinya ASI. Ya aku hampir mual saat pertama mengetahui ini, namun setelah lama berkenalan dan bersama mereka, semua terasa biasa karena ini sudah jadi bagian adat.
Kurasa kondisi tubuhku sudah mulai membaik. Lebih-lebih setelah bocah berkulit gelap--yang sampai hari ini tidak mau menyebutkan namanya padaku--itu memberiku air bening dengan rasa manis. Entah cairan apa itu.
"Ayo kita teruskan perjalanan," kataku.
"kaka tak apa-apa to?" tanya bocah kriwil itu khawatir.
"Aku berada di Wamena, kota istimewa, maka aku harus baik-baik saja," kataku sambil menyunggingkan senyum.
Entah paham atau tidak dengan maksudku, Mouthi ikut tersenyum dan membimbingku melanjutkan perjalanan. [MIN]

Gunungkidul, Februari 2016
Untuk saudari cantikku di FakFak, Mak Dzikry el Han

1 Response to "Kau yang Istimewa"

  1. Wooo..gak bisa ngebayangin menyusui babi aku..

Posting Komentar

Mini GK author from Gunungkidul, Indonesia

Tiket Promo

Followers