+1IBU

Kecuplah harapan-harapan itu hingga kelak ia berubah menjadi setampan yang engkau mau.
Bagiku, selarik kalimat itu adalah kalimat sakti yang berhasil kutemukan di antara tumpukan kata-kata yang bertebaran di pikiranku. Lalu, hari ini sejenak kutinggalkan setumpuk kata-kata yang sempat kujaring demi satu tokoh istimewa dalam hidupku.

Pagi menjelang siang tanpa ditemani kerling dan hangat sang surya, kutuntaskan tugasku memandu kawan yang tengah berlibur ke Jogja. Selanjutnya, kuikuti tokoh istimewa dalam hidupku—yang nanti di postingan ini akan lebih sering aku panggil Mamak—ke dapur tua rumahku.

Berdua, aku dan emak menghangatkan badan di depan tungku. Kayu bakar kering—yang selama ini dikumpulkan emak—sedikit-sedikit kujejelkan di mulut tungku yang sudah menghitam. Aku melakukannya dengan diam. Sambil melirik terus ke arah mamak yang tengah sibuk menumpangkan ketel ke tungku.

Mamak. Kuperhatikan lekat garis wajahnya. Kerut yang memenuhi dahi, flek-flek hitam yang betebaran karena seringnya mamak bermain dengan cahaya matahari langsung di tengah ladang. Kusentuh bajunya. Baju itu basah. Tetes-tetes air terus mengucur di ujung bajunya yang menjuntai. Mungkin di saat semua orang berpesta merayakan dua dua Desember sebagai Hari Ibu, mamak tetap seperti biasa, perempuan yang tidak pernah meributkan untuk merayakannya. Mamak tetap menjalankan ritual hari-harinya seperti biasa. Kehujanan seperti biasa. Meladang dan merumput seperti biasa. Menyalakan tungku dan mulai memasak air komboran sapi seperti biasa.

Kutatap jemarinya yang pucat keriput kedinginan. Tangan itu dulu yang sering mengusap-usap rambutku. Tangan itu pula yang sudah membesarkanku. Aku masih ingat di salah satu jemarinya itu, beberapa bulan yang lalu ada sebuah cincin yang melekat manis. Namun karena suatu hal, cincin itu—dan juga cincin di kelingkingku—harus diikhlaskan untuk dijual. Tepatnya ditukar dengan seekor anak sapi—warna hitam—yang kini menghuni kandang sapi di halaman rumahku.

Mamak menatapku yang sejak tadi terus menatapnya. Mata kami saling bertemu. Seperti biasa, mamak cuek, tipikel emak-emak ndeso yang tidak begitu lebay seperti halnya emak-emak kota yang akan sering-sering memeluk dan menciumi anaknya. Mamakku bukan emak yang seperti itu. Mamakku adalah perempuan desa yang tidak terlalu ribet atau terang-terangan dalam memberikan kasih sayang. Mamak juga adalah perempuan hebat yang jarang meminta bantuan pada orang lain. Maka kali ini pun, mamak lebih memilih mengangkat ketel berisi komboran sapi, seorang diri, tanpa melibatkanku yang jelas-jelas ada di dekatnya.

Sebagai seorang anak, kadang kala aku pun gengsi—kendati gengsi dan tidak mau membantu terkadang beda tipis—menawarkan bantuan. Maka, aku jarang menawarkan jasa diri untuk membantunya. Aku lebih sering membantu dalam diam tanpa sepengetahuannya. Hanya saja, hari ini aku ingin terlihat beda dari hari lain. Maka aku pun terang-terangan mengajukan diri membantu. Aku berdiri dan langsung ke kandang, membantu menyiapkan makanan sapi. Pohon-pohon jagung warna hijau kupotongi dengan sabit lalu kumasukkan ke kotak makan sapi.

Wajah mamak terlihat seperti biasa, seperti apa yang aku lakukan barusan bukanlah sesuatu yang istimewa. Dan baiklah, aku pun tahu diri. Maka setelah ikut memberi makan sapi, aku tetap mengikuti mamak ke mana pun pergi. Berhubung hari ini hujan mengguyur tanpa henti, bahkan semakin sore semakin mesra, mamak banyak menghabiskan diri di rumah. Tiduran di dipan usang—yang usianya lebih tua daripada usiaku—sembari lekat-lekat menyaksikan televisi 21 inch yang kubelikan belum lama ini guna mengganti televisi butut yang sempat kami punya.

Mamak paling suka nonton sinetron, berhubung waktu masih sore dan jam sinetron belum beredar, kami bertiga (aku, mamak, dan bapak) memilih nonton berita. Sekonyong-konyong kedahsyatan televisi akhirnya membuat diriku melongo. Pasalnya, berita televisi hari ini berisikan tentang kramatnya tanggal 22 Desember, Hari Ibu. Semua canel televisi memberitakan tentang istimewanya hari ini, 22 Desember. Layar kaca memperlihatkan bermacam-macam kegiatan anak untuk memperingati hari ibu.

Mamak terus mengamati layar. Bapak manggut-manggut. Dan aku menarik selimut.
Tiba-tiba mamak melirikku dan langsung berkata, “Terangane sak iki hari ibu. Aku tukok-tukokno, ni.” (ternyata sekarang hari ibu. Aku mau dibelikan sesuatu, ni)
Aku langsung melongo. Diam. Tubuh mendadak hangat.

Setelah sekian lama tidak meributkan dua dua Desember, untuk pertama kalinya, hari ini mamak meminta sesuatu di hari istimewa ini. Otak dan hatiku langsung berdiskusi untuk mengabulkan keinginan mamak. Masih dengan diam, aku bangkit lalu mengambil dompet. Aku ingat kalau beberapa hari lalu mamak kepingin beli baju baru dan sambel padang (masakan padang tapi cuma sambalnya doang).

Tunggu, Mak. Aku akan belikan sesuatu untukmu.
Mamak dan bapak masih menyimak televisi ketika aku menstater motor.

Di sebuah halte, menunggu hujan reda, aku mengingat wajah mamak. Mamak yang selalu menjadi tokoh istimewa di setiap hariku. Tak hanya hari ini. Dua dua Desember. Hari Ibu.
Aku jadi teringat buku ‘Ibuku Adalah….’
Di buku itu aku pernah menuliskan kisah tentang mamak dengan judul ‘Ibuku Adalah napas hidupku’.

Gunungkidul, Desember 22.2013
Berteman rintik hujan nan hangat

13 Response to "+1IBU"

  1. Unknown says:

    Beruntunglah yang masih memiliki ibu...
    jadi rindu ibu...
    rindu omelan ibu...
    rindu cerita ibu...
    rindu masakan ibu...
    rindu saat melihat ibu menkuatirkan diriku

    suka sama kalimat terakhir dek..Ibuku adalah Nafasku... Jiwa dan Surgaku :)

    Puspita says:

    Kangen banget sama almarhumah ibuk jadinya :'(
    Semangat dan citanya masih tetap hidup dalam diriku.

    Anonim says:

    mamak yang persis ibuku, yang tak begitu mengerti pentingnya 22 Desember. Klo dulu, ibuku pun akan lebih mementingkan sapinya dari pada meributkan 22 Desember meskipun terkadang anaknya membawakan beliau sekuntum mawar.

    Unknown says:

    subhanallah selamat hari ibu yah...

    Wah , terharu .. Keren Min

    Faried says:

    selamt terpilih dpt cincin dr IBN...

    Saya jadi teringat ibu saya nih... jauh di pelosok pulau sulawesi. Udah 3 tiga tahun nggak bertatap muka. Jadi sedih. :(

    jarwadi says:

    kereeen tulisanmu, berisi kisah yang sangat kuat. siapapun tidak boleh mengiri bila tulisan ini jawara.

    jadi kapan kamu akan mengajari aku menulis kisah keren seperti ini?

    Unknown says:

    wow... #Keren Banget.. :)
    *Selamat ya sudah jadi pemenang.. ^_^

    selamat hari ibu ya

    Inyiak says:

    Ibu...aku kangeeen...

    Unknown says:

    kangen sama ibu jadinya, tapi sayang umur 2 bulan sudah ditinggalin ibuku selamanya :'(

Posting Komentar

Mini GK author from Gunungkidul, Indonesia

Tiket Promo

Followers