Binatang Pun Bisa Lebay
Aku Memang Cantik
Oleh : Mieny Angel
Perlahan ku langkahkan kaki di bawah tamaran bulan purnama. Ku lihat sekelilingku berpuluh-puluh pasang bola mata tertuju pada diriku. Aku takut, mata mereka terlihat liar. Ku percepat langkah ku namun ku rasakan langkah kaki mereka pun berjalan mengikuti ku.
“Ampun. Tolong jangan sakiti saya.”
“Heh…kamu ngapain kluyuran malam-malam gini? Kaya pelacur ajah?”
Aku kaget bukan main, bisa-bisanya makhluk satu ini mengataiku. Apa jangan-jangan berpuluh mata yang sedari tadi mengikutiku itu juga menganggap aku ini pelacur?
“Heh…malah diem. Kamu mau melacur kemana?”
“Wah kamu kalau ngomong hati-hati ya, aku ini bukan pelacur.”
Aku naik pitam, tak mau dikatain pelacur. Memang hidup ku ini bagai pelacur apa? Ku lihat mahkluk yang lain tertawa.
“Kalau bukan pelacur apa namanya? Dandan menor tengah malam gini? Udah ngaku ajah.”
Oh My God, ternyata mahkluk ini salah kira. Aku kan dandan menor biar cantik mau kondangan tapi kesasar jadi gini dech. Haduh kenapa malam ini sial banget sich? Kenapa juga dia gak ngerti dasar dodol.
“Hay, aku ini mahkluk cantik dari sananya. Bukan pelacur, salah jika kamu menganggap aku seperti itu. So, minggir jangan ganggu aku lagi.”
Aku tak takut lagi pada siapa pun yang mencoba menggangguku, aku yakin mereka hanya mengagumi kecantikanku. Tapi Pelacur? Oh tak mungkinlah.
“Monyet, punya kaca gak sich? Dandanan mu itu lho idih, kita tu monyet bukan manusia. Jangan sok-sokan dech.”
Aku diam, mengerutkan wajah layaknya manusia jika sedang bingung. Emang ada yang salah dengan dandananku? Ku mematut di genangan air yang ada di jalan. Ku pandangi diriku agak lama. Gincu merah menghiasi bibir, bedak tebal mendarat di pipi-pipiku, tak lupa eyeshadow melekat di kelopak mata. Juga kalung manik-manik menggantung di leher.
“Udah ngacanya, sadar kita ini moyet bukan manusia. Dari mana juga kamu dapat barang-barang untuk melukis wajah mu?”
Dasar monyet kampung. Aku kan lain dari mereka, aku ini monyet rumahan tentu fasilitas tercukupi, majikan ku yang mengasih semua. Susah mau jelasin pada monyet-monyet kampungan ini. Mending aku terusin aja jalan.
“Oh yach, gak penting ngomong sama kalian. Aku pergi dulu. Misi-misi monyet cantik mau lewat.”
Ku berjalan dengan genitnya.
Wonosari, Oktober 18.2010 / 10.24
NB : Naskah diikutkan dalam Lomba oleh Leutika Publisher tapi Gagal
Oleh : Mieny Angel
Perlahan ku langkahkan kaki di bawah tamaran bulan purnama. Ku lihat sekelilingku berpuluh-puluh pasang bola mata tertuju pada diriku. Aku takut, mata mereka terlihat liar. Ku percepat langkah ku namun ku rasakan langkah kaki mereka pun berjalan mengikuti ku.
“Ampun. Tolong jangan sakiti saya.”
“Heh…kamu ngapain kluyuran malam-malam gini? Kaya pelacur ajah?”
Aku kaget bukan main, bisa-bisanya makhluk satu ini mengataiku. Apa jangan-jangan berpuluh mata yang sedari tadi mengikutiku itu juga menganggap aku ini pelacur?
“Heh…malah diem. Kamu mau melacur kemana?”
“Wah kamu kalau ngomong hati-hati ya, aku ini bukan pelacur.”
Aku naik pitam, tak mau dikatain pelacur. Memang hidup ku ini bagai pelacur apa? Ku lihat mahkluk yang lain tertawa.
“Kalau bukan pelacur apa namanya? Dandan menor tengah malam gini? Udah ngaku ajah.”
Oh My God, ternyata mahkluk ini salah kira. Aku kan dandan menor biar cantik mau kondangan tapi kesasar jadi gini dech. Haduh kenapa malam ini sial banget sich? Kenapa juga dia gak ngerti dasar dodol.
“Hay, aku ini mahkluk cantik dari sananya. Bukan pelacur, salah jika kamu menganggap aku seperti itu. So, minggir jangan ganggu aku lagi.”
Aku tak takut lagi pada siapa pun yang mencoba menggangguku, aku yakin mereka hanya mengagumi kecantikanku. Tapi Pelacur? Oh tak mungkinlah.
“Monyet, punya kaca gak sich? Dandanan mu itu lho idih, kita tu monyet bukan manusia. Jangan sok-sokan dech.”
Aku diam, mengerutkan wajah layaknya manusia jika sedang bingung. Emang ada yang salah dengan dandananku? Ku mematut di genangan air yang ada di jalan. Ku pandangi diriku agak lama. Gincu merah menghiasi bibir, bedak tebal mendarat di pipi-pipiku, tak lupa eyeshadow melekat di kelopak mata. Juga kalung manik-manik menggantung di leher.
“Udah ngacanya, sadar kita ini moyet bukan manusia. Dari mana juga kamu dapat barang-barang untuk melukis wajah mu?”
Dasar monyet kampung. Aku kan lain dari mereka, aku ini monyet rumahan tentu fasilitas tercukupi, majikan ku yang mengasih semua. Susah mau jelasin pada monyet-monyet kampungan ini. Mending aku terusin aja jalan.
“Oh yach, gak penting ngomong sama kalian. Aku pergi dulu. Misi-misi monyet cantik mau lewat.”
Ku berjalan dengan genitnya.
Wonosari, Oktober 18.2010 / 10.24
NB : Naskah diikutkan dalam Lomba oleh Leutika Publisher tapi Gagal
he... ?
hihi,,,ni kalah dalam lomba tapi lucu ajah
Numpang Promosi
Menyediakan jasa perawat bayi dan lansia
http://alamdewa-ad.blogspot.com/2010/11/lpk-kharisma-citra-bunda.html
wew...hehehe
fyuh... untungnya cuma buat lomba... tidak kenyataan... (tp beneran bukan monyet kan???)
salam sahabat
hehe binatang pun bisa lebay kan memang bbisa juga yach hehehe ada ada aja neng.sukses ya
Bippi...kenapa..bagus yach centil.
Mz Panca, monyet kan ceritanya monyet atuh
Mbak Dhana...bisa dong lebay. makacih ya sis
wah mien, ente reinkarnasi Nabi Sulaiman ya? koq bisa bicara ama animal?
Mbah Dukun..... hohoho sulapan d'ajarin simbah
Boleh juga tuh dijadikan Kumpulan Certa Pendek ...
Salam Kenal ... Mbak Mini