Cakap Bermedia Sosial, Kenapa Tidak

Selalu ada hal-hal tidak terduga terjadi di dunia, entah itu dunia nyata atau maya. Rasanya jika belum pernah mengalami hal-hal konyol, menggelikan, nyesek atau menemukan hal inspiratif maka boleh dibilang hidup hambar.

Belum lama ini, saya, untuk kesekian kali dikejutkan dengan sebuah pesan masuk di akun facebook. Sebuah pertanyaan; mobile itu penting nggak sih untuk penulis?

Nah,
Sebenarnya pertanyaan singkat tersebut bisa dijawab dengan jawaban singkat; iya atau tidak.

Namun saya justru lebih memilih menjawabnya dengan sekitar satu alinea atau bisa jadi satu bab novel *tsah*

Bagai saya pribadi sejujurnya mobile tidak terlalu utama. Saya adalah sosok yang lebih menyukai hal-hal berbau klasik. Saya adalah orang yang tidak pernah ribet atau merasa harus mengejar kemajuan teknologi. Saya mengakui jika termasuk orang yang ketinggalan zaman mengenal berbagai media sosial bahkan gadget.
Saya adalah orang perhitungan. Sebisa mungkin jika membuat atau mempunyai sesuatu harusnya untuk sesuatu yang penting.

Ketika yang lain sudah ternak facebook mau pun twitter, saya bahkan masih belum paham bagaimana cara membuat email. Tapi akhirnya seiring bertambahnya usia (yang menua) saya menyerah kalah dan pasrah menggunakan dua media sosial tersebut. Bahkan ikut-ikutan ternak email dan sedikit bergaya dengan  membuat rumah gratisan di blogspot.
Awalnya hanya iseng. Biar tidak dikira katrok. Ya, saya masih sering keteteran mengejar ketertinggalan hal-hal baru biar dikira ngehitz.
Tapi lama-lama menikmati juga sebab banyak hal baru saya temui.

Setelah sekian lama, akhirnya saya merasa kalau media sosial adalah sesuatu yang primer. Penting. Lebih-lebih untuk orang yang suka berteman, bersosialisasi dan tidak ingin ketinggalan informasi.

Jika hari ini ada teman yang bilang “hari gini mainan facebook? Gak zaman, Min.” maka saya yakin teman itu belum mengerti “kedahsyatan sebuah media sosial”

Saya belajar menulis dari media sosial (facebook dan blog). Saya mengenal banyak orang penting juga penerbitan, lagi-lagi dari media sosial (facebook/ website). Saya promosi karya lewat media sosial. Bahkan saya melakukan transaksi jual beli lewat inbox media sosial (Facebook, twitter, email mau pun WA).

Jadi kembali ke pertanyaan di atas: apakah mobile itu penting buat penulis?

Bagi saya penting. Entah bagi penulis yang lain.
Meski sama-sama berprofesi sebagai penulis, kebutuhan kami tentu saja beda-beda.

Jika pada akhirnya saya menyerah dan melengkapi dengan gadget berandroid itu semua semata-mata untuk mendukung karier. Saya yang di pelosok Gunungkidul ini akan tenggelam dengan keriuhan dunia jika tidak berusaha mengimbanginya dengan go publik. *uhuk*
Saya juga tidak bisa jadi penulis egois yang susah ditanyai kabar oleh penerbit atau mungkin pembaca. Percayalah jika semua itu saya lakukan dengan sepenuh cinta untuk pembaca-pembaca saya.

Iya, saya belum genap setahun memegang Android yang lengkap dengan BBM dan WA. Dulu saya mengira, Facebook dan email saja sudah lebih dari cukup. Nyatanya tidak. Penerbit (dan editor) lebih senang dengan penulis yang selalu mudah dikontak. Adanya WA membuat komunikasi lancar. Diskusi pun bisa dilakukan meski jarak jauh dan tanpa tatap muka.

Mungkin jika saya memutuskan untuk tak peduli pada media sosial, bisa jadi hari ini saya adalah makhluk gak penting yang sama sekali tidak terdengar gaungnya. Jika saya memutuskan tidak membuat akun medis sosial mungkin saya tidak akan menjadi penulis dengan karya melegenda dan memiliki pembaca setia.
Bisa saja saya akan tetap jadi gadis biasa yang udik dan minim motivasi.

Kalau diluaran sana banyak pihak yang kontroversi gegara media sosial, saya tidak peduli. Toh bagi saya, media sosial adalah termasuk salah satu (salah satu, ya) media untuk mengapresiasi diri. Semacam lahan untuk tampil. Boleh dibilang serupa panggung yang siapa pun boleh menunjukkan bakat, apa pun bahkan tanpa batas kecuali diri sendiri yang membatasi dan memfilter.

Walau bagaimana pun media sosial dicipta oleh manusia untuk membantu menghubungkan manusia di belahan dunia (yang luas ini).

Apa media sosial itu mengerikan?
Saya rasa tidak.
Semua kembali pada pemakainya.
Apa tujuan kita membuat sebuah akun media sosial?
Untuk ngerampok hak kekayaan orang lain? Maka siap-siap saja kena undang-undang ITe.
Untuk menipu? Ya tinggal tunggu aja hasilnya.
Atau untuk berkarya?
Ini baru kece badai.

Medis sosial untuk menjalin komunikasi? Keren.
Media sosial untuk menemukan kawan lama? Ini juga keren.
Asal pas ketemuan jangan lantas sibuk dengan media sosialnya sendirisendiri.
*ini mengesalkan sekali*

Saya tidak takut bermedia sosial karena saya selalu bijak memakainya.
Saya bahkan sering menerima bingkisan dari teman dunia maya.
Yang juga tidak kalah serunya dari media sosial adalah berkat dia saya bisa berdetakan dengan petinggi negeri ini dan juga bisa kenal banyak orang-orang penting yang bahkan sebelumnya belum penah saya bayangkan. Lebih dari itu media sosial membantu saya untuk menemukan dunia baru dan motivasi semangat.
Jujur saya sering sedih jika mendengar kabar dari kawan-kawan yang kebetulan tinggal di pelosok dan ternyata disana sangat minim motivasi. Padahal motivasi dan dukungan semangat dari orang lain adalah salah satu kunci pemacu kreatifitas.

Saya bisa dijamu ketua MPR, bisa jumpa dengan kementrian, bahkan tetangga saya akhirnya sadar jika saya ini penulis gegara mereka melihat berita saya berseliweran di timeline Facebook.

Jadi, siapa takut cakap bermedia sosial? Saya tidak takut karena saya tidak takut berprestasi.

0 Response to "Cakap Bermedia Sosial, Kenapa Tidak"

Posting Komentar

Mini GK author from Gunungkidul, Indonesia

Tiket Promo

Followers