Cerita Jogja
Cerita Jogja
Oleh : Mieny Angel
Di mana pun nantinya aku berada, aku akan tetap mengingat tanah kelahiranku, Jogja. Mungkin sebentar lagi aku akan terbang ke negeri yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Namun semuanya itu bukan karena aku hendak meninggalkan Jogja tapi karena aku hendak melanjutkan pendidikanku yang lebih tinggi. Jogja memang gudangnya universitas, Jogja kota pelajar, namun beasiswa yang kuterima tak mungkin aku sia-siakan. Terlebih, aku butuh waktu sendiri untuk melupakan seseorang.
Di Jogja ini dulunya aku mempunyai seorang yang aku harapkan keberadaannya selalu akan menemaniku, tapi sayang semuanya tak seindah harapan.
Sebelum aku benar-benar terbang, sejenak kuingin mengingat semuanya. Aku lahir di Gunungkidul, bagian dari Jogja sebelah timur. Kira-kira satu jam dari pusat kota. Ah, mengenang Gunungkidul tak akan pernah usai. Terbentang pantai-pantai yang elok juga tumbuhan yang hijau. Gunungkidul lebih adem dibanding Jogja kota.
Kukub. Dulu aku selalu menikmati akhir pekanku di sana bersama seseorang yang kini telah menjadi milik orang lain. Menyedihkan.
Selain tanah Gunungkidul yang elok, aku pastikan nanti aku akan kangen dengan suasana Alkid, alun-alun kidul orang sering bilang. Pusat perbelanjaan Malioboro yang ramah dan becek. Aku akan merindukannya.
Keraton Ngayogyakarto yang kondang di manca Negara. Ah, kotaku memang cukup indah untuk dikenal.
Dan di tempatku duduk kini, ini adalah Bandara Adisucipto. Tak kalah dengan yang lain. Di sinilah, dulu aku pernah berharap akan datang seorang yang tiba-tiba turun dari pesawat dan mengajakku menikah. Waktu itu aku masih sangat kecil, jadi wajar kalau khayalan itu terlalu berlebih-lebihan atau mengada-ada.
Di bandara Adisucipto ini pula, dulu aku pernah melepas seorang yang aku cintai untuk mengadu nasib ke kota lain. Kita saling berjanji di bandara ini,.
“Aku akan pulang untukmu. Aku janji.” Katanya waktu itu.
“Aku juga akan setia menunggumu.” Jawabku mantap dan dengan ikhlas melepasnya untuk sementara.
Namun setelah sekian tahun dia pergi dan entah di mana tiada kabarnya, dia pulang membawa sesuatu yang menyesakkan dada. Dengan bangganya dia turun dari kereta di Stasiun Lempuyangan dengan menggenggam seorang gadis, entah siapa namanya. Padahal aku sudah persiapkan diriku sejak beberapa hari yang lalu mendengar kabar burung, dia akan datang.
“Kamu yang sabar, Nduk. Ikhlaskan saja.” Seorang yang kuhormati, ibu dari orang yang menyakitiku mencoba menenangkan hatiku yang tengah hancur oleh polah anaknya.
Aduh. Itukan masa lalu. Aku tak akan mengingatnya lagi. Toh sudah cukup. Cukup ikhlasku untuknya. Setidaknya aku pernah menjadi orang special di hatinya. Alkid, Parangtritis, Kukub menjadi saksi dia pernah berucap, “Aku akan menjadikanmu seorang di hatiku.” Ya, dan aku tak perlu menagih janji itu. Toh, dia yang berjanji, dia pula yang mengkhianati. Terserah nanti seperti apa jadinya.
Kulihat jam tanganku. Jam 5.00 PM. Sudah saatnya aku untuk bersiap. Sebentar lagi aku akan meninggalkan Bandara Adisucipto ini yang tak lain aku akan meninggalkan Jogja untuk waktu yang lama. Lima tahun, bisa lebih.
Aku berdiri pelan dari tempatku merenung. Menyeret koper hitamku yang berat.
“Min….” lirih kudengar seorang memanggilku.
Kutengok ke belakang. Tak ada siapa pun di sana, “Ah perasaanku saja.”
“Min… apa kamu benar-benar akan pergi?” kini suara itu benar-benar jelas.
Aku balikkan tubuhku untuk sekali lagi. Dan seorang yang aku kenal, seorang yang jauh dari perkiraanku kini berdiri tepat di hadapanku.
“Aku kemari untumu. Untuk Jogjamu. Untuk cerita Jogja kita. Kenapa kau pergi?”
Aku diam. Hatiku deg-degan dan aku kaget bukan main. Lelaki ini? Aku tak menyangka bakalan seperti ini.
“Tapi…” suaranya tertahan.
“Tapi aku ikhlas untuk pendidikanmu. Aku tetap akan tinggal di Jogja sesuai harapan kita. Aku akan menunggumu untuk kembali. Aku janji. Dan kau, terbanglah, sayang.”
Aku lepaskan pegangan di koper dan kututup mulutku yang mengangga tak percaya.
“Pergilah untuk kembali.”
“Kamu yakin?” akhirnya ucapanku terucap juga.
Dia hanya mengangguk.
“Aku pamit. Tolong jagakan Jogjaku. Assalamualaiakum, sayang.”
“Waalaikumsalam.” Balasnya sambil tersenyum.
Dan aku pun melangkah menuju pesawat. Menatap wajahnya dari jauh. Dia adalah seorang yang pernah aku temui di beringin kembar Alkid. Dialah orang yang dulu pernah coba masangin denganku. Seorang yang dulu aku anggap sahabat ternyata menyayangiku.
Dia yang jauh dari Jogja, kembali lagi ke Jogja, untukku.
Dia, seorang yang dari pulau seberang.
“Tunggu Jogja. Aku akan kembali. Dan engkau lelaki pulau seberang. Tetaplah menantiku.”
****
Wonosari, Mei 10.2011
Oleh : Mieny Angel
Di mana pun nantinya aku berada, aku akan tetap mengingat tanah kelahiranku, Jogja. Mungkin sebentar lagi aku akan terbang ke negeri yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Namun semuanya itu bukan karena aku hendak meninggalkan Jogja tapi karena aku hendak melanjutkan pendidikanku yang lebih tinggi. Jogja memang gudangnya universitas, Jogja kota pelajar, namun beasiswa yang kuterima tak mungkin aku sia-siakan. Terlebih, aku butuh waktu sendiri untuk melupakan seseorang.
Di Jogja ini dulunya aku mempunyai seorang yang aku harapkan keberadaannya selalu akan menemaniku, tapi sayang semuanya tak seindah harapan.
Sebelum aku benar-benar terbang, sejenak kuingin mengingat semuanya. Aku lahir di Gunungkidul, bagian dari Jogja sebelah timur. Kira-kira satu jam dari pusat kota. Ah, mengenang Gunungkidul tak akan pernah usai. Terbentang pantai-pantai yang elok juga tumbuhan yang hijau. Gunungkidul lebih adem dibanding Jogja kota.
Kukub. Dulu aku selalu menikmati akhir pekanku di sana bersama seseorang yang kini telah menjadi milik orang lain. Menyedihkan.
Selain tanah Gunungkidul yang elok, aku pastikan nanti aku akan kangen dengan suasana Alkid, alun-alun kidul orang sering bilang. Pusat perbelanjaan Malioboro yang ramah dan becek. Aku akan merindukannya.
Keraton Ngayogyakarto yang kondang di manca Negara. Ah, kotaku memang cukup indah untuk dikenal.
Dan di tempatku duduk kini, ini adalah Bandara Adisucipto. Tak kalah dengan yang lain. Di sinilah, dulu aku pernah berharap akan datang seorang yang tiba-tiba turun dari pesawat dan mengajakku menikah. Waktu itu aku masih sangat kecil, jadi wajar kalau khayalan itu terlalu berlebih-lebihan atau mengada-ada.
Di bandara Adisucipto ini pula, dulu aku pernah melepas seorang yang aku cintai untuk mengadu nasib ke kota lain. Kita saling berjanji di bandara ini,.
“Aku akan pulang untukmu. Aku janji.” Katanya waktu itu.
“Aku juga akan setia menunggumu.” Jawabku mantap dan dengan ikhlas melepasnya untuk sementara.
Namun setelah sekian tahun dia pergi dan entah di mana tiada kabarnya, dia pulang membawa sesuatu yang menyesakkan dada. Dengan bangganya dia turun dari kereta di Stasiun Lempuyangan dengan menggenggam seorang gadis, entah siapa namanya. Padahal aku sudah persiapkan diriku sejak beberapa hari yang lalu mendengar kabar burung, dia akan datang.
“Kamu yang sabar, Nduk. Ikhlaskan saja.” Seorang yang kuhormati, ibu dari orang yang menyakitiku mencoba menenangkan hatiku yang tengah hancur oleh polah anaknya.
Aduh. Itukan masa lalu. Aku tak akan mengingatnya lagi. Toh sudah cukup. Cukup ikhlasku untuknya. Setidaknya aku pernah menjadi orang special di hatinya. Alkid, Parangtritis, Kukub menjadi saksi dia pernah berucap, “Aku akan menjadikanmu seorang di hatiku.” Ya, dan aku tak perlu menagih janji itu. Toh, dia yang berjanji, dia pula yang mengkhianati. Terserah nanti seperti apa jadinya.
Kulihat jam tanganku. Jam 5.00 PM. Sudah saatnya aku untuk bersiap. Sebentar lagi aku akan meninggalkan Bandara Adisucipto ini yang tak lain aku akan meninggalkan Jogja untuk waktu yang lama. Lima tahun, bisa lebih.
Aku berdiri pelan dari tempatku merenung. Menyeret koper hitamku yang berat.
“Min….” lirih kudengar seorang memanggilku.
Kutengok ke belakang. Tak ada siapa pun di sana, “Ah perasaanku saja.”
“Min… apa kamu benar-benar akan pergi?” kini suara itu benar-benar jelas.
Aku balikkan tubuhku untuk sekali lagi. Dan seorang yang aku kenal, seorang yang jauh dari perkiraanku kini berdiri tepat di hadapanku.
“Aku kemari untumu. Untuk Jogjamu. Untuk cerita Jogja kita. Kenapa kau pergi?”
Aku diam. Hatiku deg-degan dan aku kaget bukan main. Lelaki ini? Aku tak menyangka bakalan seperti ini.
“Tapi…” suaranya tertahan.
“Tapi aku ikhlas untuk pendidikanmu. Aku tetap akan tinggal di Jogja sesuai harapan kita. Aku akan menunggumu untuk kembali. Aku janji. Dan kau, terbanglah, sayang.”
Aku lepaskan pegangan di koper dan kututup mulutku yang mengangga tak percaya.
“Pergilah untuk kembali.”
“Kamu yakin?” akhirnya ucapanku terucap juga.
Dia hanya mengangguk.
“Aku pamit. Tolong jagakan Jogjaku. Assalamualaiakum, sayang.”
“Waalaikumsalam.” Balasnya sambil tersenyum.
Dan aku pun melangkah menuju pesawat. Menatap wajahnya dari jauh. Dia adalah seorang yang pernah aku temui di beringin kembar Alkid. Dialah orang yang dulu pernah coba masangin denganku. Seorang yang dulu aku anggap sahabat ternyata menyayangiku.
Dia yang jauh dari Jogja, kembali lagi ke Jogja, untukku.
Dia, seorang yang dari pulau seberang.
“Tunggu Jogja. Aku akan kembali. Dan engkau lelaki pulau seberang. Tetaplah menantiku.”
****
Wonosari, Mei 10.2011
mau kemana mbak e? hah kaka kelasku duplay hebat dahh ini...semangka
eh mbaknya mau kemana?
Fridi Graphic
Salam kenal....Pecinta hijau!
jadi kangen pulang ke Jogja!
jadi pengin ke jogja :-)
kunjungan gan.,.
bagi" motivasi.,.
kehilangan jadikanlah sebuah pelajaran untuk mu.,.
jangan hanya menyesali apa yang terjadi.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,
Lama gak ketemu mbak,,gmn kabarnya nih,, :)
ameh menyang ngendi ta?
nice post ,dan salam kenal aja ,,,,,
sukses selalu,,